Tanggapan atas Tulisan dengan Judul: OBOR : Modus Invasi Senyap Komunis-Cina, yang ditulis oleh www.eramuslim.com


Tulisan oleh www.eramuslim.com dengan tautan sbb:
https://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/obor-modus-invasi-senyap-komunis-cina.htm#.WvDbqrYxdGo

oleh: Agung Satriyo Nugroho
(Staf Pengajar Geografi Politik, Fak. Geografi UGM)

Pada makalah tersebut, disampaikan bahwa Indonesia perlu hati-hati dengan adanya Modus Invasi Senyap Komunis-Cina melalui aktivitas investasi di Indonesia, dan penulis tersebut mengemukakan dasar berfikir tentang teori geopolitik kebutuhan ruang hidup untuk melegitimasi hukum ekspansi negara tiongkok. Tanggapan saya atas cara pandang tersebut yaitu:

1. memang benar cara berfikir dari teori yang dikemukakan tentang ruang hidup tersebut, yang notabene teori tersebut dinamakan Lebensraum dengan penulis Friedrich Ratzel, dan merupakan “tangan kanan” dari Adolf Hitler. Pada jaman sebelum perang dunia kedua, teori ini dipakai oleh Hitler melalui gerakan Nazi untuk menjustifikasi aktivitas penjajahan di Eropa Timur, karena negara jerman membutuhkan ruang hidup yang lebih luas jika menginginkan waktu hidup yang lebih lama. Pendekatan yang dipakai dalam menerapkan teori tersebut dengan aktivitas politik dan kemananan. akan tetapi pada saat ini, apakah teori tersebut masih relevan? jawabannya masih relevan, tetapi dengan pendekatan yang berbeda. Bukan hanya pada aktivitas perekonomian saja, seperti yang disampaikan pada makalah tersebut, tetapi juga dengan pendekatan lain seperti pendidikan dan atau sosial kemasyarakatan yang berhubungan dengan gaya hidup (life style). contohnya masuknya pengaruh life style ala korea melalui ruang virtual menjadikan para penggemarnya berlomba-lomba mengganti gaya hidup dan produk-produk dengan style korea. Pengaruh ini yang akhirnya berujung pada upaya untuk mengamankan konsumsi terhadap produk-produk perekonomian negara tersebut. Oleh karena itu, kecenderungan tulisan yang lebih mentakutkan invasi cina secara fisik di Indonesia, menurut pendapat saya masih terlalu sempit dan tendensius.

2. Bukankah kita saat ini hidup dalam era Globalisasi ?, yang mana era keterbukaan baik perekonomian, sosial, serta teknologi informasi begitu besar, dan sangat sulit untuk dibendung. dan kenapa ketakutan itu muncul terhadap negara tiongkok?. menurut pendapat saya, justru strategi tiongkok dalam memanfaatkan era globalisasi saat ini patut diapresiasi, yaitu dengan mengemukakan strategi jalur sutera (silk road) untuk melakukan ekspansi perekonomiannya. keberhasilan tiongkok dengan strategi jalur sutera tersebut bukannya dengan waktu yang singkat. Mereka memulai merancang strategi tersebut pada era tahun 90an, dan mulai dilaksanakan mulai tahun 2000an. Preseden ini yang harus kita cermati dan sebagai cambuk bagi kita (Indonesia) dalam mewujudkan visi Poros Maritim Dunia. Bukankah kita mempunyai visi tersebut?.

3. Kenapa yang ditakutkan adalah investasi dari tiongkok? padahal secara angka investasi, data BKPM tahun 2017 yang dikutip oleh Kompas (2018) bahwa investasi asing terbesar berasal dari Singapura dengan nilai investasi sebesar 8,4 Miliyar US$, atau 26,2% dari total investasi asing di Indonesia selama tahun 2017. peringkat kedua adalah jepang dengan nilai 5 Miliyar US$, dan peringkat ketiga baru Tiongkok dengan nilai investasi 3,4 Miliyar US$.

4. Apakah ketakutan tersebut karena masuknya tenaga kerja asing dari Tiongkok ke Indonesia?. menurut pendapat saya, ada dua sisi. Jika dilihat dari sisi kedaulatan negara, yang mana dihubungkan dengan tenaga kerja asing tiongkok yang datang tidak diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa inggris, maka hal ini wajar untuk dicermati, karena negara kita telah bersepakat melalui sumpah pemuda untuk menjujung tinggi bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia. Tetapi jika dilihat dari sisi perekonomian, seharusnya masyarakat Indonesia tidak perlu takut, karena daya saing kita lebih tinggi. disamping harga nya yang lebih murah, tetapi jika generasi angkatan kerja kita memiliki ketrampilan yang lebih, maka justru yang terjadi adalah naik kelas. dan pola ini yang harus kita cermati di negara-negara lain seperti posisi tenaga kerja orang Melayu Asli di Malaysia, atau Orang Arab di Negara-Negara Timur Tengah, dengan posisi migrant dari Banglades, Pakistan, dan sekitarnya.

5. Pendapat yang terakhir patut disampaikan terhadap statement pada kalimat akhir dalam makalah tersebut, sebagaimana disebutkan sebagai berikut: “Jadi, ketika hari ini, mayoritas warga masih disibukkan oleh isu-isu hilir bermenu SARA lalu sebagian warga hanyut di dalamnya, sesungguhnya kita telah terkecoh oleh salah satu strategi perang Cina kuno yang bertajuk ‘mengecoh langit menyeberangi lautan’. Sadarkah kita ????”. dan yang saya tangkap dari kalimat tersebut adalah masyarakat Indonesia banyak disibukkan dengan “konflik” poros politik saat ini, dan isu Tiongkok seakan tidak ada yang menyentuh. Justru pemikiran saya sebaliknya, bahwa upaya dalam memanfaatkan isu investasi “Aseng” ini merupakan lanjutan dari politik dengan memanfaatkan sensitifitas SARA, yang notabene seharusnya dihindari dalam menentukan strategi mengambil “hati” para pemilih di Indonesia.

6. Kritikan terhadap kebijakan pemerintah sangat diperlukan, tetapi perlu hati-hati dalam membungkus pernyataan, agar tidak multi-persepsi oleh publik, sehingga dapat merembet pada kesimpulan yang salah. “Tiada Gading yang Tak Retak”, begitu juga teori dan konsep yang saya kemukakan pasti masih memiliki celah untuk perdebatan jika dipandang dari “kacamata” lainnya. Mari kita berdiskusi dan mengemukakan konsep secara Ilmiah.

Sekian.