KEBIJAKAN PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA INDONESIA


POLICY BRIEF

KEBIJAKAN PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA INDONESIA

OLEH:
FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA, INDONESIA

Policy paper ini merupakan rumusan hasil seminar yang telah dilaksanakan pada hari Rabu, 30 Agustus 2017, bertempat di Auditorium Merapi, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Judul dari seminar tersebut adalah “Kemana Ibu Kota Negara akan Dipindah?”. Hasil diskusi yang telah dilakukan merekomendasikan bahwa:

I. PERMASALAHAN
1. Kota Jakarta yang selama ini menjadi ibu kota negara Indonesia sudah tidak mampu lagi menampung dan mendukung aktivitas masyarakat secara layak. Hal ini dikarenakan kota Jakarta dinilai sudah over-populasi.
2. Dilain sisi, Pemindahan ibu kota negara tidak ada kaitannya dengan keruwetan masalah Jakarta tapi bicara masalah amanat konstitusional dimana keadilan sosial dan spasial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Pelaksanaan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta tidak secara langsung menyelesaikan permasalahan perkotaan disana, karena daya tarik migrasi menuju Jakarta masih sangat besar dari sisi perekonomian.
4. Meskipun banyak negara telah memindahkan ibukota negara, tapi tidak ada contoh yang sesuai dengan karakteristik Negara Indonesia, karena ke-khas-an Negara Kepulauan dan Negara Maritim.
5. Parameter apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan calon ibu kota baru Indonesia? Serta dimana lokasi yang sesuai dengan prinsip keadilan social dan spasial bagi seluruh Rakyat Indonesia?

II. SOLUSI PROSES PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA
Parameter yang harus menjadi pertimbangan yaitu:
1. Pemilihan calon ibu kota baru harus memperhatikan aspek fisik, yang akan mempengaruhi keberadaan risiko bencana yang akan terjadi. Syarat fisik yang dimaksud tercermin pada karakteristik morfologi, material, dan proses.
2. Calon ibu kota baru tidak boleh berada pada daerah patahan, karena akan rawan terhadap ancaman gempa bumi.
3. Selain itu, ibu kota yang baru harus terhindar dari ancaman bencana tsunami.
4. Keberadaan gunung berapi harus menjadi perhatian, karena akan mempengaruhi proses mitigasi bencana terhadap calon ibu kota negara yang baru.
5. Penetapan lokasi ibu kota baru harus mempertimbangkan wilayah yang rawan longsor atau wilayah yang akan mendapatkan kelongsoran.
6. Disamping itu, calon ibu kota harus menilai apakah wilayah tersebut rawan kekeringan atau rawan genangan.
7. Lokasi ibu kota baru tidak boleh berada di lahan gambut, karena akan rawan terhadap kebakaran lahan. Calon Ibu Kota Negara tidak ingin hidup diatas “Bara Api”.
8. Parameter fisik tersebut dikemukakan diawal, karena lebih baik memilih lokasi yang memiliki ancaman bencana rendah, dan jangan menetapkan ibu kota dahulu baru ada mitigasi bencana.
9. Aspek lain yang perlu dipetimbangkan yaitu aspek kependudukan, bahwa lokasi baru harus berloksi di kota dengan jumlah penduduk dan kepadatan yang masih minim. Karena lokasi yang baru akan langsung menerima migrasi pegawai negeri sipil (PNS) minimal sebesar 1,6 juta jiwa.
10. Penetapan lokasi ibu kota baru akan harus mempertimbangkan efek migrasi masuk yang akan muncul, karena akan menjadi daya tarik baru orang akan masuk ke wilayah ini.
11. Efek dari migrasi akan memunculkan masalah marginalisasi penduduk lokal dan konflik sosial. Oleh karena itu, calon ibu kota baru harus berlokasi di wilayah dengan heterogenitas masyarakat yang tinggi, tanpa adanya rawan terhadap munculnya konflik antara pendatang dan penduduk lokal.
12. Selain itu, pemilihan lokasi ibu kota haru mempertimbangkan aksesibilitas yang mudah dari Jakarta ke calon ibu kota baru. Hal ini untuk memudahkan interaksi antara fungsi pemerintahan dengan fungsi perekonomian.
13. Dilain sisi, perlu mempertimbangkan faktor inklusi dan keterbukaan yang dimaknai menjadi dua level yaitu inklusifitas wilayah dan inklusifitas terhadap seluruh level perekonomian masyarakat.
14. Jika harapan adanya ibu kota baru akan memunculkan pusat kegiatan baru, maka inklusifitas wilayah yang dimaksud adalah calon ibu kota baru harus berdekatan dengan kawasan pesisir dan laut strategis. Salah satu yang perlu dipertimbangkan adalah kedekatan terhadap jalur ALKI II di sekitar selat makasar.
15. Inklusifitas yang lain adalah keterjangkauan segala emelen dan level masyarakat. Calon ibu kota yang baru harus mampu memberikan ruang baik kaum dengan golongan menengah atas maupun golongan menengah bawah. Contoh yang tidak baik dapat dilihat dari konstruksi Putrajaya di Malaysia, bahwa lokasi tersebut memiliki inklusifitas wilayah rendah karena pembangunan yang dilakukan tidak memerhatikan keberadaan orang miskin.
16. Selain itu, proses konstruksi ibu kota baru harus pula mempertimbangkan aspek historis wilayah Nusantara dengan best practices lokasi Candi Borobudur dan Candi Prambanan, serta pemilihan lokasi pusat kerajaan-kerajaan nusantara. Nilai yang perlu dipertimbangkan adalah proses pemilihan lokasi serta konstruksi bangunan yang sesuai dengan karakteristik wilayah Indonesia.

Berdasarkan parameter diatas, maka perlu mengusulkan lokasi yang dinilai memenuhi kriteria calon ibu kota negara yang baru. Calon lokasi ibu kota negara yang baru yaitu:
1. Secara fisik, lokasi yan dimaksud yaitu bukan di Pulau Sumatera bagian Barat, Jawa bagian selatan dan tengah, Nusa Tenggara, dan juga Maluku. Lokasi yang tepat adalah di Pulau Kalimantan, tetapi bukan di lahan gambut. Oleh sebab itu lokasi yang tepat disekitar Perbukitan Maratus.
2. Pemilihan lokasi calon ibu kota di Kalimantan Tengah dinilai kurang tepat karena potensi kebakaran lahan gambut yang pernah terjadi dan berdampak pada tidak optimalnya fungsi pemerintahan dan aktivitas masyarakat.
3. Jika mempertimbangkan aspek kependudukan dan social budaya, maka kota dengan kepadatan yang rendah di Kalimantan menjadi sangat tepat. Selain itu pertimbangan potensi konflik sosial-budaya, maka wilayah-wilayah di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur dinilai lebih heterogen masyarakatnya.
4. Secara geostrategi, lokasi ibu kota baru juga dapat berada di sekitar pesisir Kalimantan Selatan atau Kalimantan Timur, dan secara morfologi laut dapat diakses oleh kapal dengan skala muatan besar.

III. REKOMENDASI PELAKSANAAN
1. Perlu ada justifikasi secara mendetil tentang urgensi pemindahan ibu kota secara fungsional dari Jakarta.
2. Penetapan apakah Ibu Kota Negara Indonesia akan pindah atau tidak harus segera dilakukan, karena akan mempengaruhi kepastian usaha dan perekonomian di Indonesia. Selain itu juga berpengaruh terhadap kesiapan masyarakat secara sosial dan politik.
3. Perlu didorong dengan kampanye besar-besaran agar keputusan pemindahan ibu kota segera dilakukan.

Tim Penyusun:
1. Prof. Dr. R. Rijanta, M.Sc. (Guru Besar Bidang Geografi Perdesaan)
2. Prof. Dr. Junun Sartohadi, M.Sc. (Guru Besar Bidang Geomorfologi Kebencanaan)
3. Prof. M. Baiquni, MA. (Guru Besar Bidang Geografi Regional)
4. Dr. Sukamdi, M.Sc. (Pakar Kependudukan / Geografi Manusia)
5. Dr. Lutfi Mutaali, MT. (Pakar Pembangunan Wilayah / Geografi Pembangunan)
Tim Editor:
1. Prof. Dr. Muh Aris Marfai, M.Sc
2. Dr. Dyah Rahmawati Hizbaron, MT., M.Sc.
3. Agung Satriyo Nugroho, S.Si., M.Sc.